Ketika masa awal ikut kajian kita amat bersemangat segala sesuatu ikut dalil, yang tidak ada dalilnya maka otomatis bid'ah, lucunya lagi kita hanya paham bahwa dalil itu hanya Qur'an dan Sunnah saja padahal ternyata masih ada dalil-dalil lain, seperti ; Ijmâ dan qiyas sahih yang disepakati Empat mazhab, di samping dalil-dalil lain yang masih diperselisihkan.
Di kala itu yang penting adalah berpegang dengan hadits, tidak peduli apa kata para ulama terdahulu dan metode pemahaman mereka terhadap hadits tersebut, jika ada satu pemahaman ulama yang menurutku bertentangan dengan suatu hadits yang kita baca, maka pendapat kita-lah yang benar sedangkan ulama tersebut salah karena tidak berpegang dengan hadits. Padahal Shahih Al-Bukhary boro-boro di hafal, bacanya aja belum tuntas.
Dalam Ushul Fiqh ternyata para ulama memiliki perbedaan dalam metode istinbath (mengambil kesimpulan hukum) dari suatu dalil, bahkan juga khilâf dalam hal mana yang merupakan hujjah mana yang bukan hujjah.
Sebab-sebab munculnya beda pendapat
Dan dalam kitab karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berjudul : "Raf'ul Malam 'An Aimmatil A'lam". (Menghilangkan celaan pada para imam besar).
Beliau bahas belasan sebab yang menjadikan para ulama fiqh khilâf, dari sini semakin ana berlapang dada kepada para ulama terdahulu yang mereka banyak khilâf dalam permasalahan fiqh. Ana sarankan kepada antum yang dadanya sempit ketika beda pandangan dengan saudaranya alangkah baiknya baca kitab ini.
Keluasan Bahasa Arab
Dalam Bahasa Arab yang amat luas, ternyata adakalanya suatu lafaz merupakan lafaz musytarak yang memiliki beberapa makna, kalau mau pakai makna hakiki itupun terbagi 3, hakikat syar'iyyah, lughawiyyah dan 'urfiyyah. Tentusaja dari tiga makna tersebut yang didahulukan adalah makna secara syar'iyyah, namun ketika tidak ada penjelasan makna syar'iyyah ulama kembali khilâf, apakah yang didahulukan makna lughawiyyah atau' urfiyyah.
Larangan belum tentu menunjukkan keharaman
Ketika ada larangan, apakah itu haram atau makruh masih perlu dibahas lagi dan digabungkan dengan dalil-dalil lain yang masih 1 bab (satu pembahasan), begitu pula perintah apakah itu wajib atau sunah masih perlu dibahas lagi, jangan-jangan ternyata mansukh atau diqa'id (di'ikat) dengan dalil lain kemutlaqkannya.
Terlebih Bab perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم dan para Sahabat lebih terbuka lagi kemungkinan-kemungkinan daripada bab qaul (perkataan), apakah hanya perbuatan 1 orang Sahabat atau sampai derajat Ijmâ sukûtiy atau bahkan Ijmâ sharih masih perlu pembahasan lagi.
Adakalanya seorang yang miskin ilmu alat berdalil dengan suatu dalil untuk menunjukkan kepada permasalahan fulaniyyah (tertentu) padahal dalil tersebut tidaklah menunjukkan kepada apa yang ia pahami, justru sebaliknya di dalam dalil tersebut (bisa jadi) ada bagian yang menunjukkan kebatilan pemahamannya dan kesimpulan yang ia hasilkan, demikian yang diisyaratkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah :
ما استدلّ مبطل بدليل على باطله إلا وفيه ما دلّ على بطلانه
"Tidaklah seorang yang membawa kebatilan berdalil dengan suatu dalil dalam melegalkan kebatilannya, kecuali di dalam dalil tersebut ada hal yang menunjukkan kepada kebatilannya."
Jangan "selfy" dalam masalah agama
Yang biasanya kesimpulan rancu itu hasil dari minusnya ilmu-ilmu alat, seperti Ushul Fiqh, Nahwu, Balaghah dan lain-lain, sehingga akan menghasilkan kesimpulan sendiri yang berbeda dari kesimpulan para ulama. Maka jadilah itu kesimpulan yang salah, yang dibangun diatas pemahaman "selfy" (sendiri) padahal belum memiliki perangkat yang memadai.
Imam Adz-Dzahabiy mengingatkan :
كيف يطير طائر ولم يريّش
"Bagaimana mungkin burung bisa terbang sedangkan ia belum berbulu".
Terkadang seseorang juga meyakini bahwa masalah fulaniyyah (tertentu) hukumnya adalah "A" dan yang menyelisihinya adalah sesat lagi menyesatkan, padahal para Salafusshalih dan ulama khilâf dalam masalah yang dimaksud, bisa jadi karena dalilnya zhanniy (perkira'an) dan bukanlah qath'iy (pasti dan jelas penunjukannya). Atau disitu ada dua dalil bahkan lebih yang seolah bertolak-belakang, sehingga ada sebagian ulama yang menempuh jalan jamak (menggabungkan dalil-dalil tersebut), ada juga ulama yang menempuh jalan tarjîh (menguatkan dalil yang satu dari dalil yang lain).
Berbedanya Metode Berdalil Para Ulama
Adakalanya seseorang su'udzon kepada Imam Mâlik yang menjadikan amal penduduk Madinah sebagai dalil, oleh karena itu beliau hanya membolehkan jama' shalat maghrib dan isya padahal dalam dalil Nabi صلى الله عليه وسلم juga jama' shalat dzuhur dan ashar.
Barangkali juga ada yang su'udzon kepada Imam Asy-Syafi'i yang membolehkan takhshis dengan qiyas shahih bahkan dengan mafhum mukhalafah.
Barangkali ada yang su'udzon kepada Imam Ahmad yang berdalil dengan hadits dha'if jika dalam bab tersebut tidak ada dalil yang menjelaskan masalah tersebut kecuali hadits dha'if.
Barangkali amat banyak orang yang su'udzon kepada Imam Abu Hanifah yang lebih mendahulukan qiyas daripada hadits ahad, terlebih dalam masalah yang sering dibutuhkan oleh umat.
Barangkali ada yang su'udzon terhadap tulisan ini, dengan mengatakan : "tulisan ini mengajak kembali kepada taqlid buta kepada ulama".
Padahal tidak demikian, hanya ingin membuat kita sadar diri bahwa kita belum lengkap memiliki ilmu-ilmu perangkat untuk memahami dalil dan mari rujuk kepada penjelasan para ulama yang sudah lengkap memilikinya, jika ingin naik tingkat dari taqlid maka pahami penjelasan para ulama beserta dalil dan wajhul istidlalnya yang tentu saja harus menguasai Ushul Fiqh dari ulama tersebut yang ia membangun ijtihad di atasnya. Lho kok ribet ya, lha iya mang ente kira para ulama asal jeplak?.
Intinya para ulama mujtahid terdahulu dan para Salafusshalih jika benar maka mereka mendapat 2 pahala, jika salah maka mendapat 1 pahala adapun orang belakangan yang belum lengkap memiliki alat-alat ijtihad jika salah ia mendapatkan dosa dan jika benar maka hakikatnya ia masuk kepada sesuatu bukan dari pintunya.
Semoga bermanfaat.
Ust. Faryan Ghani Hirman
Editor : Dody Kurniawan
⚔⚔⚔⚔⚔🛡⚔⚔⚔⚔⚔
Grup WA "Rijalun Sholih"
Minhunna Nabda' Ilal Aqsho Naltqi
No comments:
Post a Comment